Minggu, 01 Juni 2014

KADO TERAHIR DARI BUNDA



Pagi-pagi kudapat sms dari kantor pos kalau ada kiriman untukku.
Aku merasakan galau yang berkepanjangan.
Bathin pun terasa sangat gundah gulana.
Air  dingin mengguyurku, tapi aku tak merasakan apa-apa. Hanya hampa.

‘sayang apa kabar ? jangan lupa sholatnya dijaga ya”
“sayang, sudah makan siang?”
“sayang, umi kangen nih”
Sms umi yang selalu ku ingat dan kadang memenuhi memori hapeku. Umi yang selalu perhatian kepadaku. Segala kasih sayang beliau tercurah kepadaku.

Umi, meskipun seperti ibu-ibu yang lain, yang pengen selalu memberikan yang terbaik untuk anaknya. Umi sesosok makhluk tuhan yang super tegar.
Tak pernah aku mendengar kata lelah,letih meskipun dengan seabrek aktivitasnya yang sangat menguras energi beliau.
Tangan halusnya Selalu mengelus rambutku saat aku menjelang tidur sambil berpesan agar aku tak menjadi anak perempuan yang bandel, yang suka keluyuran.
Aku sangat menyukai seni, entah musik maupun desain. Kamarku di buat umi sefeminim mungkin dengan hiasan princess ala eropa dan di cat warna pink. Di benak umi mungkin desain ini akan membuat aku merasa nyaman dikamar. Tapi, aku merasakan hal yang berbeda. aku nggak nyaman.
Pernah suatu ketika umi memarahiku.. “kamu ini lho, anak perempuan, gak baik keluar sama anak-anak yang gak jelas”. Ungkapan pedas memerahkan telingaku. Itulah komentarnya saat aku hangout sama teman-teman KoSe (komunitas seni).
Apakah umi tidak menengerti kalau kami berkumpul untuk membuat karikatur mengenai sistem pemerintahan negeri ini yang kacau balau. “ah umi kuno”. Bukankah ini lebih baik untuk kami daripada demo, bikin macet lalu lintas.

“memangnya dengan begitu kamu akan mendapatkan uang?”. Umi mengkritikku dengan pedas.
Aku sangat geram. Aku ingin sekali marah padanya. Apakah ibu tidak tahu, pemerintahan semakin menjerat leher-leher para rakyat. Mereka mengeruk keuntungan untuk dirinya sendiri. Apakah ibu belum terbuka pikirannya.
Untungnya aku masih sadar. Kutelan lagi kaliamat-kalimat yang akan aku muntahkan itu. Aku pun hanya bisa menunduk, diam tanpa suara.
Selera fashion yang tinggi, selalu saja ada yang dikomentari dari umi tentang pakaian yang ku kenakan. Gak memenuhi syariat islam, gak rapi, menyamai pakaian laki-lakilah. Aduh, umi kok cerewet sekali sih,inikan yang lagi trend ”, aku sering bergumam sendiri.
Semakin dewasa umurku, tetapi  aku merasa tak ada hal yang ku lakukan yang dianggap beliau benar. Kurang ini, kurang itu.
Aku kesal, aku capek. Aku mulai jatuh didalam ketidakpastian dan kewalahan mengahadapi dan menuruti semua keinginan ibu.
Suatu hari aku diberitahu salah seorang kerabat, bahwa ada beasiswa dalam bidang seni, aku pun terus berlatih berharap agar aku lolos tes dan cepat-cepat pergi dari rumah ini.

Aku sangat yakin akan lolos dan berharap tak mendengar suara sinis dari seorang wanita yang kupanggil Umi….
Akan akan mencoba hidup dan encari kerja dari hasil karya seniku.

@@@

Air mata itu mengalir perlahan membasahi pipiku yang penuh dengan tata rias. Ya, hari ini adalah pentas yang menakjubkan saat aku mulai menapaki titik karir sebagai seorang seniman. Namaku pun sudah disandingkan dengan para seniman senior.
Aku tak mampu menutpi kegelisahan hati ini. Enam tahun sudah aku tak menghubungi ibu, meskipun umi seringkali bahkan berkali kali mengirim sms, tapi aku acuhkan. Aktivitas keduniawian ini yang melenakan.
Aku merindukannya, ya sangat rindu kepada wanita itu. Wanita yang tak mempeduliakan akan bakatku.
Tapi, dari balik sikapnya itu baru aku pahami bahwa umi benar-benar sngat ingin melindungiku. Aku belajar dari pengalamanku sndiri saat hidup kota metropolitan ini. Semuanya serba ada dan bebas.
@@@

Kuberjalan perlahan menuju kantor pos. Hatiku semakin kencang berdegup. Langit seperti mau meruntuhkan material-material kepadaku. Serasa akan ambruk.
Kini paketan itu sudah berpindah ketanganku. Taman disebrang jalan adalah tujuanku, cukup rindang. Banyak orang tua dan anaknya bermain rumah-rumah pasir dan prosotan. Seperti de Javu, kilatan-kilatan itu sejenak memenuhi memoriku. Umi aku merindukanmu.
Kutemukan sebuah surat dalam paketan itu
Untuk Afin Tersayang
Dari Umi yang lagi Kangen

Apakabar sayang? Umi berdoa agar sayang selalu diberikan kesehatan oleh Allah.
Sayang kapan pulang ke kampung lagi, bunda seringkali menangis saat rindu kamu. Umi pergi ketempat tidur kamu, biar umi gak kangen kamu lagi. Oiya selamat ulang tahun yang ke 25 ya sayang. Semoga kado dari bunda adalah simbol untuk eneng sekarang. Bunda ingin eneng pulang kerumah, sehari atau dua hari. Akan ada hajatan besar

Dari Umi tercinta
Kulihat bungkusan itu.sebuah kerudung dan mukena. Barang yang kini mulai ku tinggalkan semenjak aku hidup di kota metropolitan ini.

Ah air mata ini mengalir deras. Kubaca ulang pesan terahirnya. Akan ada hajatan besar.

@@@@

Rumah ini masih terlihat begitu sederhana, tapi terlihat bersih. Umi memang selalu ingin semuanya rapi, sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah.
Umi, aku mencarinya di setiap sudut kamar. Gak ada. Aku mulai ketakutan. Aku menyeringai tajam menelusurinya. Umi di kamar ku, tubuhnya lemas. Aku merasa menjadi anak yang gagal berbakti.
Segera aku membawa umi ke rumah sakit. “Maafin umi ya nak, Umi selalu mengomentarimu, tapi kamu perlu tahu nak, umi sayang padamu. Gunakan kado ibu sebagai pemberian terakhir dari Umi. Jadilah seorang musimah yang Cerdas nak, umi bangga padamu”. Aku melihat senyuman penuh kedamaian di akhir hidupnya.

Aku sadar, aku tak membencinya lagi. Kado Umi akan selalu jadi pemberian dan pembuka jalan yang menuntunku pada Ridho-nya melalui bidadari ini.



END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar