Pagi-pagi kudapat sms dari kantor pos kalau ada
kiriman untukku.
Aku merasakan galau yang berkepanjangan.
Bathin pun terasa sangat gundah gulana.
Air dingin
mengguyurku, tapi aku tak merasakan apa-apa. Hanya hampa.
‘sayang
apa kabar ? jangan lupa sholatnya dijaga ya”
“sayang,
sudah makan siang?”
“sayang,
umi kangen nih”
Sms umi yang selalu ku
ingat dan kadang memenuhi memori hapeku. Umi yang selalu perhatian kepadaku.
Segala kasih sayang beliau tercurah kepadaku.
Umi, meskipun seperti
ibu-ibu yang lain, yang pengen selalu memberikan yang terbaik untuk anaknya.
Umi sesosok makhluk tuhan yang super tegar.
Tak pernah aku
mendengar kata lelah,letih meskipun dengan seabrek aktivitasnya yang sangat
menguras energi beliau.
Tangan halusnya Selalu
mengelus rambutku saat aku menjelang tidur sambil berpesan agar aku tak menjadi
anak perempuan yang bandel, yang suka keluyuran.
Aku sangat menyukai
seni, entah musik maupun desain. Kamarku di buat umi sefeminim mungkin dengan
hiasan princess ala eropa dan di cat warna pink. Di benak umi mungkin desain
ini akan membuat aku merasa nyaman dikamar. Tapi, aku merasakan hal yang
berbeda. aku nggak nyaman.
Pernah suatu ketika umi
memarahiku.. “kamu ini lho, anak perempuan, gak baik keluar sama anak-anak yang
gak jelas”. Ungkapan pedas memerahkan telingaku. Itulah komentarnya saat aku
hangout sama teman-teman KoSe (komunitas seni).
Apakah umi tidak menengerti
kalau kami berkumpul untuk membuat karikatur mengenai sistem pemerintahan
negeri ini yang kacau balau. “ah umi kuno”. Bukankah ini lebih baik untuk kami
daripada demo, bikin macet lalu lintas.
“memangnya dengan
begitu kamu akan mendapatkan uang?”. Umi mengkritikku dengan pedas.
Aku sangat geram. Aku
ingin sekali marah padanya. Apakah ibu tidak tahu, pemerintahan semakin
menjerat leher-leher para rakyat. Mereka mengeruk keuntungan untuk dirinya
sendiri. Apakah ibu belum terbuka pikirannya.
Untungnya aku masih
sadar. Kutelan lagi kaliamat-kalimat yang akan aku muntahkan itu. Aku pun hanya
bisa menunduk, diam tanpa suara.
Selera fashion yang
tinggi, selalu saja ada yang dikomentari dari umi tentang pakaian yang ku
kenakan. Gak memenuhi syariat islam, gak rapi, menyamai pakaian laki-lakilah.
Aduh, umi kok cerewet sekali sih,inikan yang lagi trend ”, aku sering bergumam
sendiri.
Semakin dewasa umurku,
tetapi aku merasa tak ada hal yang ku
lakukan yang dianggap beliau benar. Kurang ini, kurang itu.
Aku kesal, aku capek.
Aku mulai jatuh didalam ketidakpastian dan kewalahan mengahadapi dan menuruti
semua keinginan ibu.
Suatu hari aku
diberitahu salah seorang kerabat, bahwa ada beasiswa dalam bidang seni, aku pun
terus berlatih berharap agar aku lolos tes dan cepat-cepat pergi dari rumah
ini.
Aku sangat yakin akan
lolos dan berharap tak mendengar suara sinis dari seorang wanita yang kupanggil
Umi….
Akan akan mencoba hidup
dan encari kerja dari hasil karya seniku.
@@@
Air mata itu mengalir
perlahan membasahi pipiku yang penuh dengan tata rias. Ya, hari ini adalah
pentas yang menakjubkan saat aku mulai menapaki titik karir sebagai seorang
seniman. Namaku pun sudah disandingkan dengan para seniman senior.
Aku tak mampu menutpi
kegelisahan hati ini. Enam tahun sudah aku tak menghubungi ibu, meskipun umi
seringkali bahkan berkali kali mengirim sms, tapi aku acuhkan. Aktivitas
keduniawian ini yang melenakan.
Aku merindukannya, ya
sangat rindu kepada wanita itu. Wanita yang tak mempeduliakan akan bakatku.
Tapi, dari balik
sikapnya itu baru aku pahami bahwa umi benar-benar sngat ingin melindungiku.
Aku belajar dari pengalamanku sndiri saat hidup kota metropolitan ini. Semuanya
serba ada dan bebas.
@@@
Kuberjalan perlahan
menuju kantor pos. Hatiku semakin kencang berdegup. Langit seperti mau
meruntuhkan material-material kepadaku. Serasa akan ambruk.
Kini paketan itu sudah
berpindah ketanganku. Taman disebrang jalan adalah tujuanku, cukup rindang.
Banyak orang tua dan anaknya bermain rumah-rumah pasir dan prosotan. Seperti de
Javu, kilatan-kilatan itu sejenak memenuhi memoriku. Umi aku merindukanmu.
Kutemukan sebuah surat
dalam paketan itu
Untuk
Afin Tersayang
Dari
Umi yang lagi Kangen
Apakabar
sayang? Umi berdoa agar sayang selalu diberikan kesehatan oleh Allah.
Sayang
kapan pulang ke kampung lagi, bunda seringkali menangis saat rindu kamu. Umi
pergi ketempat tidur kamu, biar umi gak kangen kamu lagi. Oiya selamat ulang
tahun yang ke 25 ya sayang. Semoga kado dari bunda adalah simbol untuk eneng
sekarang. Bunda ingin eneng pulang kerumah, sehari atau dua hari. Akan ada
hajatan besar
Dari
Umi tercinta
Kulihat bungkusan
itu.sebuah kerudung dan mukena. Barang yang kini mulai ku tinggalkan semenjak
aku hidup di kota metropolitan ini.
Ah air mata ini
mengalir deras. Kubaca ulang pesan terahirnya. Akan ada hajatan besar.
@@@@
Rumah ini masih
terlihat begitu sederhana, tapi terlihat bersih. Umi memang selalu ingin
semuanya rapi, sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah.
Umi, aku mencarinya di
setiap sudut kamar. Gak ada. Aku mulai ketakutan. Aku menyeringai tajam
menelusurinya. Umi di kamar ku, tubuhnya lemas. Aku merasa menjadi anak yang
gagal berbakti.
Segera aku membawa umi
ke rumah sakit. “Maafin umi ya nak, Umi selalu mengomentarimu, tapi kamu perlu
tahu nak, umi sayang padamu. Gunakan kado ibu sebagai pemberian terakhir dari
Umi. Jadilah seorang musimah yang Cerdas nak, umi bangga padamu”. Aku melihat
senyuman penuh kedamaian di akhir hidupnya.
Aku sadar, aku tak
membencinya lagi. Kado Umi akan selalu jadi pemberian dan pembuka jalan yang
menuntunku pada Ridho-nya melalui bidadari ini.
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar